Beranda | Artikel
Hukum Pemeriksaan DNA untuk Menentukan Nasab Keturunan
Sabtu, 9 April 2016

Pemeriksaan DNA memang valid dan kami mendapatkan informasi dari literatur dan perkuliahan dahulunya bahwa kevalidannya bisa mencapai 99%.

Sebelumnya telah kami bahas bahwa pemeriksaan DNA untuk menentukan:

1.Anak dari hasil perzinahan

2.Anak dari hasil perselingkuhan

Maka TIDAK diterima sebagai anak tersebut nasab syari’i ia hanya nasab biologis

Kami jelaskan kembali mengenai:

1. Nasab syar’i

Adalah anak secara syariat dan berlaku hukum anak secara syariat semisal mendapatkan warisan, kemahraman, hak wali nikah dan lain-lain.

Meskipun bisa jadi ia bukan bapak biologisnya pada kasus tertentu.

Contohnya adalah jika seorang istri selingkuh dan hamil dan benar hasil pemeriksaan DNA itu bukan anak suaminya, maka selama suaminya tidak menggugat, maka anak yang dilahirkan istrinya adalah anak si suami secara syar’i meskipun bukan bukan anak biologisnya. Ini yang disebut dengan “suami pemilik kasur”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak yang lahir adalah bagi pemilik kasur (dinasabkan kepada suami yang sah), dan seorang pezina tidak punya hak (pada anak hasil perzinaannya).”[1]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

فمعناه أنه إذا كان للرجل زوجة أو مملوكة صارت فراشا له فأتت بولد لمدة الإمكان منه لحقه الولد وصار ولدا يجري بينهما التوارث وغيره من أحكام الولادة سواء

“Jika seorang laki-laki memiliki istri atau seorang budak wanita, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi suaminya (anak yang dikandung dinasabkan kepada suaminya atau pemilik budak). Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya.[2]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

حتى لو أن امرأة أتت بولد وزوجها غائب عنها منذ عشرين سنة لحقه ولدها

 “Walaupun hingga seorang istri melahirkan anak suaminya yang sedang pergi (tidak ada) selama 20 tahun, makan anak tersebut dinasabkan (nasab syariat) kepada suaminya.”[3]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai anak hasil zina kemudian bapaknya ditentukan dengan pemeriksaan DNA, beliau menjawab:

والحاصل أن الولد لأبيه وإن أظهرت التحاليل أنه ليس منه.

“Kesimpulannya, anak tersebut dinasabkan (nasab syar’i) kepada bapaknya (pemilik kasur), walaupun hasil tes pemeriksaan (DNA) menunjukkan bahwa anak tersebut bukan anaknya.”[4]

 

2. Nasab biologis

Adalah anak secara biologis, dari dialah berasal benih anak tersebut

Akan tetapi ada kasus yang meskipun ia anak biologis tetapi ia bukan anak nasab syari’i sehingga tidak berlaku hukum syar’i seperti warisan, kemahraman dan hak wali nikah.

Contohnya kasus anak hasil perzinahan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

بمعنى أنه لو كانت المزني بها لا فراش لها، وادعى الزاني أن الولد ولده فهل يلحق به؟ الجمهور على أنه عام، وأنه لا حق للزاني في الولد الذي خلق من مائه

“Maknanya jika seorang berzina dengan bukan firasy-nya (bukan istri sah), kemudian ia mengklaim anak tersebut adalah anaknya, apakah anak tersebut dinisbatkan kepadanya? Pendapat jumhur ulama bahwa lafadz (hadits) umum, tidak ada hak bagi pezina pada anak tersebut yang (walaupun) diciptakan dari maninya.”[5]

 

Pmemeriksaan DNA untuk menentukan nasab biologis dan syar’i

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat ilmu menentukan nasab melalui kemiripan kaki dan urat kaki. Hal ini diakui di zaman tersebut dan ahlinya disebut “al-qa-if”. Hasilnya diakui untuk kasus penentuan anak yang hilang baik nasab biologis dan nasab syar’i.

Sebagaimana kasus  Zaid dan Usamah adalah keluarga dengan penentuan kemiripan kaki.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسْرُوْرًا تَبْرُقُ أَسَارِيرُ وَجْهِهِ، فَقَالَ: أَلَمْ تَرَى أَنَّ مُجَزِّزًا الْمُدْلِجِيَّ نَظَرَ آنِفًا إِلَى زَيْدِ وَأُسَامَةَ وَقَدْ غَطَّيَا رُؤُوْسَهُمَا وَبَدَتْ أَقْدَامُهُمَا، فَقَالَ: إِنَّ هذِهِ اْلأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku dalam keadaan gembira dan berseri raut mukanya, beliau bersabda, ‘Tidakkah engkau melihat bahwa Majazzir al-Mudliji tadi melihat kepada Zaid dan Usamah, keduanya menutup kepala mereka dan hanya terlihat kakinya saja, ia berkata, ‘Sungguh kaki-kaki ini sebagiannya adalah dari sebagian yang lain (masih satu keturunan).’[6]

 

Karenanya periksaan DNA diakui untuk hal berikut, sebagaimana fatwa AL-Lajnah Ad-Daimah (Semacam MUI di Saudi)

يجوز استخدامه في حالات التنازع على مجهولي النسب، أو حالات الاشتباه بين المواليد، أو ضياع الأطفال واختلاطهم

“Boleh menggunakan pemeriksaan DNA pada keadaan:

1. Ada perselisihan antara dua nasab yang tidak diketahui

2. Kasus bercampurnya anak (misalnya bayi yang tertukar, pent)

3. Kehilangan anak/bayi sudah bercampur (sehingga sulit dibedakan)”[7]

 

Demikian semoga bermanfaat

@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

[1]  Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah

[2] Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37, Darul Ihya’ AT-Turast, Beirut, cet.II, 1392 H, syamilah

[3] Al-Mughni  6/420, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah

[4] Al-Irsyad lii Thabibil Muslim pertanyaan no.19, syamilah

[5] Syarhul Mumti’ 12/17, Dar Ibnul Jauzi, cet. I, 1422 H, syamilah

[6] Irwaa-ul Ghaliil no. 1578

[7] Sumber: http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2794#.VwhzXPmLTIW


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/hukum-pemeriksaan-dna-untuk-menentukan-nasab-keturunan.html